Tepisan Tangan Komandan Brimob dan Dilema Tito
Loading...
Komandan Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri Inspektur Jenderal Murad Ismail mulai gerah dengan polemik impor 280 pucuk senjata Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40 x 46 milimeter dan amunisi jenis RLV-HEFJ kaliber 40 x 46 milimeter.
Hal itu terlihat nyata saat ia menepis tangan wartawan yang menyodorkan alat perekam sambil menanyakan seputar isu tersebut di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/10).
Murad mengatakan, masalah senjata yang diimpor untuk Korps Brimob bukan bahan konsumsi publik. Bahkan, Murad menegaskan, DPR yang merupakan lembaga representasi masyarakat pun tidak mempertanyakan hal tersebut dalam rapat kerja yang saat itu ia hadiri.
“Senjata itu bukan konsumsi kalian, itu konsumsi negara. DPR saja enggak ngomongin senjata,” kata Murad saat ditanya wartawan.
Keengganan Polri dalam menyikapi polemik impor senjata dan amunisi –yang kini disimpan TNI karena dinilai mematikan– sebenarnya telah terlihat sejak informasinya beredar ke ranah publik, Sabtu (30/9).
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tidak pernah sekali pun berbicara di hadapan media untuk menyikapi polemik ini. Dia selalu menghindari adangan wartawan yang ingin menanyakan seputar isu ini dalam setiap kesempatan.
Tito bahkan dengan sigap menghindari isu polemik senjata dalam sesi wawancara usai membuka acara Apel Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) 2017 di Akademi Kepolisian, Semarang, Jawa Tengah, Senin (9/10). Jenderal bintang empat itu mengakhiri sesi wawancara sesaat sebelum wartawan menanyakan soal impor senjata dan amunisi untuk Korps Brimob ini.
Menurut Bambang, Tito menyadari impor senjata dan amunisi yang memakan biaya sekitar Rp49,091 miliar ini bermasalah. Di sisi lain, kata Bambang, Tito kesulitan menuntaskan polemik pengadaan senjata lantaran keberadaan para seniornya di institusi Polri.
Berangkat dari keadaan itu, lanjutnya, Tito memilih tutup mulut dan menunggu situasi tenang.
“Bisa jadi Kapolri menghadapi dilema, di satu sisi harus menjaga Korps Polri, di sisi lain dimungkinkan ada berbagai arahan dari seniornya dan secara pribadi merasa memang ada kesalahan dalam organisasi,” kata Bambang saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (13/10).
“Maka lebih baik diam dulu menunggu keadaan tenang,” ujar Bambang.
Bambang berpendapat, impor senjata dan amunisi untuk Korps Brimob bermasalah. Menurutnya, Polri telah melanggar aturan yang tertuang dalam Konvensi PBB, di mana diatur aparat kepolisian hanya boleh menggunakan senjata dengan kapasitas melumpuhkan, kaliber 3,8 milimeter.
“Kalau polisi mengacu pada ketentuan universal atau PBB tentang pemakaian senjata api, polisi hanya bisa memakai senjata api untuk melumpuhkan, paling tinggi colt 3,8 milimeter. Sedangkan yang diimpor polisi amunisi kaliber militer, di atas 5,6 milimeter,” kata Bambang.
Seluruh pemangku kepentingan dalam pengadaan senjata dan amunisi di Indonesia, kata Bambang, harus mengusut tuntas kisruh pengadaan senjata. Pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran dalam impor ini perlu mendapatkan hukuman atau sanksi.
Bambang berharap Presiden Joko Widodo segera meminta penjelasan Tito secara detail terkait latar belakang serta tujuan impor senjata dan amunisi untuk Korps Brimob ini.
“Presiden harus heran dan memerintahkan Polri untuk menjelaskan hal itu. Jika tidak dilakukan, masyarakat akan terus bertanya dan mengapa masalah tersebut tidak diungkap latar belakangnya,” kata Bambang.
Tito sendiri menyatakan polemik pembelian senjata Korps Brimob Polri saat ini tengah ditangani oleh tim internal pemerintah yang terdiri dari 11 instansi terkait persenjataan, termasuk Polri yang diwakili anggota dari Baintelkam.
Menurut Tito, kelompok kerja itu akan diminta memberikan pendapat dalam menyelesaikan polemik impor senjata dan amunisi untuk Korps Brimob. (kl/cnn)
sumber:eramuslim
loading...
loading...