Antara Budaya Cadar yang harus Ditolak dan Budaya Mengamuk yang harus Dimaklumi
Loading...
Dalam beberapa hari ini, head line berita kita dihiasi dua pembahasan tentang "budaya".
Pertama adalah larangan penggunaan cadar di kampus UIN. Kedua soal kerusuhan di kantor Kemendagri.
Pada kasus pertama, mahasiswi UIN dilarang menggunakan cadar yang dianggap merupakan "budaya Arab" guna mereduksi kebiasaan mengkafirkan.
Pada kasus kedua, menurut Staf Khusus Presiden Jokowi, wajar jika masa dari Tolikara Papua marah dan merusuh kantor Kemendagri. Karena "budaya" mereka jika ingin bertemu orang harus dipenuhi. Sementara keinginan untuk bertemu Mendagri tidak dipenuhi, namun hanya diwakili Dirjen.
Pada kasus pertama, "budaya Arab cadar" harus keras ditolak lantaran diduga menjadikan orang terbiasa mengkafirkan.
Pada kasus ke dua, "budaya harus ditemui", "jika tidak ditemui akan mengamuk", itu harus diterima sebagai kewajaran karena merupakan "Budaya Lokal".
Pada dua kasus ini, akhirnya kita menemukan tolok ukur Budaya yang hendak disarankan pada masyarakat. Yaitu tolaklah budaya Arab (walau tidak rusuh/mengganggu orang lain). Terimalah budaya Tolikara. Apapun bentuk nya. Rusuh atau damai tak masalah. Begitu kira-kira tolak ukurnya di era Revolusi Mental.
@doniriw
loading...
loading...