Novanto Minta KPK Izin Presiden, Begini Tanggapan Jokowi
Loading...
Novanto Minta KPK Izin Presiden, Begini Tanggapan Jokowi
Opini Bangsa - Presiden Jokowi bicara soal polemik izin presiden yang menjadi alasan tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP, Ketua DPR Setya Novanto, tak memenuhi panggilan KPK. Apa kata Presiden Jokowi?
"Buka undang-undangnya semua. Buka undang-undangnya. Aturan mainnya seperti apa, di situlah diikuti," kata Presiden Joko Widodo seperti yang tertulis dalam siaran pers dari Biro PersIstana, Rabu (15/11/2017).
Jokowi menyampaikan hal tersebut menjawab pertanyaan wartawan di Manado tentang pemanggilan Ketua DPR oleh KPK. Jokowi di Manado membuka kongres ke-20 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (15/11/2017).
Setya Novanto meminta KPK izin kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bila ingin memanggilnya terkait kasus korupsi e-KTP. Novanto berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU MD3.
Mengenai aturan pemanggilan ini memang diatur dalam UU UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Sebelumnya, dalam Pasal 245 ayat 1 UU MD3, pemeriksaan terhadap anggota dewan seizin MKD, tetapi MK mengubahnya menjadi seizin presiden. Berikut bunyinya:
Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Namun Pasal 245 ayat 3 belum diubah oleh MK. Pasal tersebut berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Korupsi selama ini dikenal sebagai tindak pidana khusus. Juru bicara MK Fajar Laksono menyebut putusan MK yang dimaksud yaitu putusan nomor 76/PUU-XII/2014 tertanggal 22 September 2015.
"Kalau itu kan hubungannya dengan putusan MK yang dulu ya, nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015. Itu kan memang dalam UU MD3 yang diuji waktu itu kan UU MD3," ujar Fajar saat dihubungi, Selasa (7/11/2017).
Menurut Fajar, saat itu UU MD3 diuji karena disebutkan adanya izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Fajar menyebut izin dari MKD itu dimaknai MK sebagai persetujuan tertulis presiden.
"Yang diuji waktu itu kan UU MD3 disitukan diperlukan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan gitu kan oleh MK, MKD itu harus dimaknai sebagai persetujuan tertulis presiden kan gitu," sebut Fajar. [opinibangsa.info / dtk]
loading...
loading...