Jangan Teriak Takbir, Nanti Dituduh Teroris
Loading...
Jangan Teriak Takbir, Nanti Dituduh Teroris
Opini Bangsa - Andai tak ada takbir, saya tidak tahu dengan cara apa membakar semangat para pemuda untuk melawan penjajah. Kalimat itu disampaikan Sutomo, atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo usai pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Takbir menjadi senjata Bung Tomo membangkitkan semangat arek-arek Surabaya melawan pasukan Inggris yang ingin menguasai Indonesia.
Takbir adalah kalimat suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi takbir adalah seruan atau ucapan Allahu Akbar yang artinya Allah Maha Besar. Dalam agama Islam, takbir diserukan dalam shalat, azan, hingga berzikir. Artinya, takbir yang berisi ucapan Allahu Akbar merupakan kalimat suci bagi umat Islam.
Sayang seribu sayang, dalam beberapa hari terakhir lini massa diramaikan dengan komentar warganet yang menyindir seorang pejabat Polri setingkat kapolres yang menyebut pelaku pembakaran Mapolres Dharmasraya sebagai teroris lantaran meneriakkan takbir. Saat diwawancara secara 'live' di salah satu televisi swasta nasional tentang indikasi pelaku pembakaran Mapolres Dharmasraya, kapolres menyebut tersangka meneriakkan 'takbir'.
"Pak Kapolres pelaku diduga jaringan kelompok teroris atas dasar bukti apa kalau mereka tergabung dalam jaringan teroris?" tanya pembawa berita.
Kapolres itu menjawab, "Dalam proses melumpuhkan dua pelaku tersebut, pelaku meneriakkan takbir kemudian menyatakan bahwa saya yang membakar, kemudian menyatakan bertanggung jawab dalam pembakaran, menyatakan thaghut dan setelah dilumpuhkan dalam badan tersangka ditemukan surat satu lembar bolak balik yang berisi kalimat-kalimat jihad. Senjata tajam sangkur dan pisau, busur dan 10 anak panah, dan seperangkat penutup wajah."
Biar tidak salah paham, kita mungkin perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang definisi teroris. Dalam KBBI, teroris memiliki arti: orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Dalam penjelasan tersebut tidak disebutkan jika teroris harus meneriakkan takbir, thaghut, atau membawa-bawa surat berisi kalimat-kalimat jihad.
Saya hingga kini justru heran untuk apa para pelaku kekerasan yang mendapat porsi liputan lebih besar dari sejumlah media mainstream, selalu membawa surat berisi kalimat/ pengakuan/ atau ajakan untuk berjihad. Jika siap mati, mengapa harus meninggalkan jejak?
Saya berpendapat, frame atau bingkai yang ingin dibentuk dari definisi teroris diarahkan harus meneriakkan 'Allahu Akbar'.
Sementara para pelaku teror yang tidak meneriakan takbir diberi label dalam tanda kutip lebih halus. Contoh terhangat adalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang kini menyandera 1.300 orang di dua desa di Papua. Mereka tidak dilabeli sebagai teroris.
Padahal bersenjata api dengan amunisi tak habis-habis, tidak hanya sekedar membawa bom panci, busur dan anak panah, atau senjata sangkur dan pisau. Apa karena mereka tidak meneriakan takbir, sehingga tidak masuk dalam kategori teroris?
Saban hari, umat Islam di Indonesia mengumandangkan azan lima kali sehari. Dalam satu kali azan, seorang muazin mengucapkan tiga kali kalimat 'Allahu Akbar', artinya ada 15 kali teriakan takbir dalam 24 jam menggema hanya dari satu masjid, surau, mushala.
Sementara dalam lima kali shalat fardu, umat Islam menyebut 'Allahu Akbar' sebanyak 92 kali. Jika definisi teroris harus meneriakkan takbir, apa berarti semua umat Islam berarti teroris?
Takbir menyiratkan lautan makna yang tak bertepi. Dengan takbir arek Surabaya tak lagi mengenal kata takut meski menghadapi pasukan pemenang Perang Dunia. Lafaz Allahu Akbar juga yang menjadi perisai Jenderal Soedirman saat melakukan perang geriliya. Pekik takbir yang membuat menguatkan pasukan umat Islam berperang melawan imperium Persia dan Romawi yang ketika itu menguasai dunia.
Dan ucapan lembut Allahu Akbar mengetuk pintu-pintu langit saat jutaan jamaah haji bermunajat di Padang Arafah. Dengan sederet keistimewaan pengagungan keesaan Tuhan tersebut, apa pantas kalimat takbir masuk sebagai ciri-ciri teroris.
Beruntung Bung Tomo meneriakan takbir pada 1945, andai orasinya terjadi pada 2017, mungkin Bung Tomo pun bakal diciduk karena dituding intoleran hingga dituduh sebagai teroris.
Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM Universitas Muhammadiyah Prof Dr Uhamka, Maneger Nasution bahkan menyarankan Pimpinan Polri mengambil tindakan tegas terhadap Kapolres Dharmasraya.
"Sulit untuk menghindari persepsi publik bahwa sudah terjadi bias dalam penyebutan 'teroris' dan sejenisnya. Bias yang bertitik pusat pada stigmasasi terhadap kelompok agama tertentu. Sanksi organisasi dan sanksi pidana, saya kira, layak dipertimbangkan (bahkan dijatuhkan) bagi Kapolres tersebut," ujar Maneger Nasution.
Jika kasus ini tidak diluruskan, frame jika pelaku teror --baik kelompok atau perorangan-- selama beragama Islam, akan disebut sebagai teroris. Dampaknya tentu masyarakat akan alergi terhadap kaum Muslim yang menjalankan syariat atau sunnah Rasulullah shallahu alaihi wassalam.
Berjenggot, celana tidak isbal, berjidat hitam, bercadar, rajin shalat lima waktu di masjid, hingga menuliskan bisarah atau janji Rasul jika pada waktunya, dunia akan dipimpin seorang khalifah, akan dituding dan dicap sebagai seorang teroris. Bahkan lebih sadis lagi sebagai orang atau kelompok anti-Pancasila dan ingin merusak NKRI.
Tak heran banyak pemberitaan soal kelompok ini membubarkan pengajian karena penceramahnya, ustaznya, menurut penilaian mereka merusak NKRI. Tak toleran ke saudara seiman, tapi melempem seperti kerupuk tersiram air ketika berhadapan dengan kelompok yang jelas-jelas mengancam keutuhan NKRI.
Pancasila sebagai ideologi NKRI menurut saya memang sudah final. Tidak boleh ada satu pun orang atau kelompok yang selama masih bernaung di bawah bendera merah putih, menentang Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Namun jangan juga kita sampai alergi dengan khilafah. Sebab, kehadiran setiap manusia di muka bumi karena mengemban misi sebagai khalifah (baca QS. Al-Baqarah:30). Hemat saya, jika Pancasila adalah ideologi, Khilafah adalah gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya.
Jika dunia-dunia Barat berlomba-lomba mengusung kapitalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme sebagai idelogi untuk menyambut datangnya Dajjal. Mengapa umat Islam tidak boleh mempersiapkan diri menyambut datangnya Khilafah dengan menerapkan syariat Islam, atau ekonomi syariah.
Mereka bisa merusak bunga, tapi mereka tidak akan bisa menahan datangnya musim semi. Kelompok-kelompok yang menvonis umat Islam sebagai pelaku kejahatan mungkin bisa merusak seorang Muslim yang sedang mekar dengan berbagai tuduhan, tapi mereka tidak akan bisa menahan datangnya gelombang kejayaan umat Islam.
Kritik saya juga sampai kepada kelompok-kelompok yang menyatakan memerangi pemerintah, pejabat, hingga aparat karena dinilai berlaku zalim dan tidak berpihak kepada umat Islam. Bukankah Islam tidak mengajarkan memupuk kebencian, apalagi dendam.
Bukankah kita akrab dengan untaian doa, "... Ya Allah, ampunilah dosa kami, dosa para pemimpin kami..." Lalu mengapa kita kini sangat mudah mendoakan yang jelek kepada para pemimpin bangsa ini. Mudah diadu domba, atau karena kita tidak sadar sedang dibenturkan satu sama lain.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, mengingatkan prinsip utama aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. “Dan kami (ahlus sunnah) tidak berpendapat (bolehnya) keluar (memberontak) dari pemimpin dan penguasa kami."
Tulisan itu sejaran dengan firman Allah dalam Surah Annisa ayat 59 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”
Penegasan untuk taat kepada pemimpin juga disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Dan barangsiapa yang menaati pemimpin, maka sungguh dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin, maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835).
Dari rangkaian firman dan sabda tersebut bisa saya simpulkan, tidak dibenarkan mendoakan yang jelek kepada para pemimpin. Apalagi melakukan tindakan kriminal. Kita sebagai warga negara bisa mengingatkan pemerintah jika memang keluar dari jalur dengan cara yang dibenarkan hukum. Seperti menggelar unjuk rasa.
Ingat, dakwah itu itu merangkul, bukan memukul. Sehingga jangan sampai terpancing pihak-pihak yang memilih menjadi abu-abu ketimbang hitam atau putih. Berlindung di balik kelompok Islam, tapi malah mematikan sinar dakwah Islam.
Islam itu sempurna, tapi seorang Muslim tidak selalu paripurna. Karena itu, ketika melihat Islam, lihat ajarannya, jangan lihat pribadi seorang Muslimnya. Karena sekurus-kurusnya ayam, pasti punya daging, dan segemuk-gemuknya ayam pasti memiliki tulang. Karena itu, ambil dagingnya, buang tulangnya.
Oleh: Karta Raharja Ucu, wartawan Republika
[opinibangsa.info / rol]
loading...
loading...