Pakar Komunikasi Politik: Penetapan Presidential Threshold Pemilu 2019, Tindakan Manipulatif
Loading...
Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali menilai bahwa penetapan ambang batas calon presiden 2019 (presidential threshold) dengan menggunakan suara pemilihan legislatif 2014 sebagai tindakan manipulatif.
Menurutnya, warga negara yang memiliki hak politik tidak pernah mendapatkan pemberitahuan bahwa suaranya akan digunakan sebagai ambang batas pencalonan presiden pada pemilu yang sifatnya serentak.
“Tanpa diberitahukan, intinya dalam konteks konstitusi kita, bahkan harus disosialisasikan UU Pemilu itu dinilai tingkat pengetahuan pemilihnya berapa persen. Nah, sekarang tiba-tiba tanpa dikasih tahu digunakan untuk yang lain, itu manipulatif, kan saat sosialisasi 2014 tidak pernah dikasih tahu,” kata Effendi, di Jakarta, Jumat (6/10) lalu.
Diketahui, Effendi Ghazali termasuk juga pihak yang mengajukan permohonan pengujian materil UU Pemilu soal ambang batas calon presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Lebih lanjut, Effendi mengingatkan bahwa Indonesia pernah mempunyai pengalaman buruk ketika tahun 1963, apa yang saat ini dilakukan pernah diterapkan pada era kepemimpinan Presiden Soekarno.
“Kita sudah punya pengalaman loh, di tahun 1963, pasca Pemilu kemudian digunakan saja oleh kekuasaan untuk menjadi presiden seumur hidup saja, dan kalau ini digunakan begitu saja hasil legislatif (2014) ini, kita tidak perlu Pemilu presiden, gunakan saja hasil pilegnya,” tukas dia.
Bahkan, lanjut Effendi, jika nanti Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa ketentuan itu open legal policy (kebijakan hukum terbuka)
tetap tidak bisa diterapkan pada 2019 melainkan di 2024.
Sebab, menurut Effendi, praktik ketatanegaraan sebelum Pemilu serentak dengan sesudah Pemilu serentak harus berbeda, dan itu sangat jelas disebutkan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945.
“Akan tetapi, open legal policy, maka MK harus menjawab boleh tidak digunakan sekarang , meski pada Pemilu 2014 tidak pernah diberitahu bahwa suara ini akan digunakan untuk ambang batas 2019,” tandasnya.
Untuk diketahui, pasal a quo berbunyi bahwa ‘Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum’.
“Jadi, bila kemudian suara di 2014 digunakan ke PT 2019 tidak boleh, dan kemudian nanti dikatakan mahkamah berpendapat bahwa ini adalah open legal policy, hanya boleh dilaksanakan pada 2024, dengan dilakukan pemberitahuan terhadap rakyat, ‘hai rakyat kalau kamu menggunakan suara Pileg sekarang (2019) maka akan digunakan ya untuk PT 2024 loh,” pungkasnya.
Sebelumnya, sejumlah pihak sudah lebih dahulu mengajukan gugatan terhadap pasal tersebut. Diantaranya, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, sejumlah advokat yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) dan Partai Idaman.
Selain itu, ada juga mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI (KPU), Hadar Nafis Gumay bersama dua lembaga sosial masyarakat, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) juga mengajukan gugatan yang sama.
Effendi Gazali sendiri terdaftar dalam perkara 59/PUU-XV/2017. (swa)
loading...
loading...