Kompolnas: Brimob Perlu Senjata untuk Gangguan Oknum Militer
Loading...
Dankorbrimob Irjen Pol Murad Ismail (kiri) dan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto memegang contoh senjata Grenade Launcher. |
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea Poeloengan menilai spesifikasi senjata stand alone grenade (peluncur granat) dan ribuan amunisi tajamnya sudah sesuai dengan kebutuhan kerja Brimob Polri. Selain untuk menghadapi kelompok kriminal bersenjata (KKB) berat, senjata tersebut juga dapat digunakan untuk menghadapi kemungkinan gangguan keamanan oleh oknum militer.
“Fakta bahwa ketika Brimob beberapa kali kontak ditemukan senjata sniper berat 12.7 mm di Poso, maupun kaliber 7.62 mm yang digunakan KKB di Papua, apalagi ketika mereka berhadapan dengan GAM di Aceh yang lengkap dengan RPG juga, adalah sebagian kecil dari alasan mengapa Polri dan khususnya Brimob harus dipersenjatai dengan canggih, selain karena negara ini pernah mengalami upaya untuk mengganggu pemerintahan yang sah oleh sekelompok oknum militer bersenjata,” kata Andrea dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (11/10).
Andrea mengkritik langkah Mabes TNI menyimpan secara sepihak 5.932 amunisi tajam untuk senjata pelontar granat milik Polri. Andreas menilai alasan TNI mengada-ada. “Alasan militer menjalankan amanah hukum menyimpan amunisi tajam dari peluncur granat tersebut juga patut dilihat sebagai upaya pembodohan publik dan upaya provokasi lainnya,” ujar Andrea.
Andrea menjelaskan peluncur granat kaliber 40 X 46 mm yang dicemaskan TNI sebenarnya tidak hanya bisa diisi amunisi tajam, tapi juga amunisi asap, gas air mata, dan amunisi latihan. Amunisi tajam, kata Andrea, hanya untuk memberi sanksi pamungkas dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Misalnya untuk menghadapi ancaman kelompok kriminal bersenjata dengan tetap mematuhi peraturan hukum yang berlaku. Apalagi informasi yang didapat Andrea, amunisi tajam milik Brimob yang disimpan TNI tidak bersifat mematikan.
Amunisi itu hanya mengejutkan dengan suara keras dan memberikan efek sebaran timah. Bahkan, katanya, kambing dan ayam dalam jarak 9 meter dari titik ledak juga tidak apa-apa. Ini berbeda dengan Tank Scorpion dan Tank Leopard milik TNI yang jelas sangat mematikan dan berharga lebih mahal.
“Jika amunisi dari pelontar granat tersebut dikatakan lebih istimewa dibandingkan dengan peralatan perang atau senjata milik militer Indonesia, saya pikir ini pembodohan publik dan upaya provokasi yang berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan yang berkuasa sekarang,” kata Andrea.
Andrea menjelaskan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang Senjata Api. Pendaftaran. Izin Pemakaian. Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara No. 14 dan menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api mengatur senjata api yang berada di tangan orang bukan anggota tentara atau polisi harus didaftarkan oleh kepala kepolisian karesidenan atau kepala kepolisian daerah istimewa atau orang yang ditunjukkannya. Sedangkan ayat (2) pasal tersebut menyatakan senjata api yang berada di tangan anggota angkatan perang didaftarkan menurut instruksi menteri pertahanan, dan yang berada di tangan Polisi menurut instruksi Pusat Kepolisian Negara. “Aturan ini menegaskan bahwa yang mengatur pendaftaran senjata milik sipil dan polri adalah polri, sedangkan TNI hanya mengatur miliknya sendiri,” ujar Andrea.
Selain itu, lanjut Andrea berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 20 Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut Perundang Undangan Mengenai Senjata Api, ditegaskan pula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 aturan tersebut bahwa kewenangan untuk mengeluarkan dan/atau menolak sesuatu permohonan perijinan menurut Vuurwapenregelingen A (in-, uit-, doorvoer en lossing) dan B (bezit-, handel en vervoer) 1939, Ordonnantie tanggal 19 Maret 1937 (Staatsblad 1937 No. 170), sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Staatsblad 1939 No. 278) dan Vuurwapenuitvoerings-voorschriften (invoer, uitvoer, doorvoer en lossing, bezit-, handel en vervoer) 1939, Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Staatsblad 1939 No. 279), diberikan kepada Menteri/Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan olehnya untuk itu, kecuali mengenai perijinan untuk kepentingan (dinas) Angkatan Perang, yang diurus oleh masing-masing Departemen Angkatan Perang sendiri.
“Aturan ini semakin menguatkan makna dari aturan sebelumnya (1948) bahwa yang mengatur pendaftaran senjata milik sipil dan Polri adalah Polri, sedangkan TNI hanya mengatur miliknya sendiri,” katanya.
Terlebih berdasarkan Penjelasan Pasal 1 Perppu disebutkan ketentuan perizinan mengenai senjata api, obat peledak, mesiu dan lain sebagainya untuk kepentingan (dinas) Angkatan Perang hendaknya diatur dalam lingkungan Angkatan Perang sendiri. Adapun yang diperuntukkan bagi pribadi anggota Angkatan Perang tetap termasuk bidang kewenangan perijinan seperti untuk umum di luar Angkatan Perang, ialah di bawah Menteri/Kepala Kepolisian Negara.
Andrea mengatakan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia Pasal 1 angka 4 telah bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki).
Permenhan tersebut juga bertentangan dengan Hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut ketentuan UU No.12/2011 – vide Pasal 5 huruf c , Pasal 7 dan Pasal 8 (sebelumnya lihat UU No. 10 Tahun 2004). Kemudian Permenhan tersebut bahkan juga bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960
"Pasal Permenhan dimaksud harus dipandang batal demi hukum dan Jika masih dipakai, wajib dibatalkan melalui proses hukum atau dengan sukarela oleh pembuatnya," ujar Andrea.
"Serta agar pihak oknum militer yang selalu merasa tidak puas hingga harus memberikan keterangan persnya, agar dengan legowo dan ikhlas menerima kenyataan supremasi sipil dan supremasi hukum".
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Wuryanto menerangkan, Mabes TNI mengamankan 5.932 munisi hasil pembelian Stand Alone Grenade Launcher yang dibeli beberapa waktu lalu untuk Korps Brimob. Mereka menyita munisi tersebut karena diduga bisa menimbulkan kecemasan di masyarakat. Mantan Kadispenad ini menjelaskan, munisi yang dibeli tergolong sebagai amunisi tajam. Ukuran munisi yang dibeli Brimob juga tidak sesuai standar. Apabila mengacu pada Inpres Nomor 9 Tahun 1976 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api, kaliber munisi Brimob sudah masuk standar militer, yakni 5,56 mm.
Selain itu, amunisi ini mempunyai radius mematikan 9 meter dengan jarak capai 400 meter. Keistimewaan amunisi ini adalah setelah meledak pertama kemudian pada ledakan kedua dapat menimbulkan pecahan-pecahan dari tubuh granat berupa logam-logam kecil yang melukai target dan mematikan. Bahkan, granat tersebut bisa meledak sendiri tanpa impact dan benturan setelah 14-19 detik lepas dari laras. Amunisi dengan teknologi seperti itu bahkan tidak dimiliki oleh institusi pertahanan.
"TNI sendiri ini sampai saat ini tidak mempunyai senjata sejenis itu, mempunyai kemampuan seperti itu," kata Wuryanto dalam keterangan pers di TIM, Jakarta, Selasa (10/10). [ti]
loading...
loading...