Ekonomi Lesu, Proyek Listrik 35 Ribu MW Dievaluasi
Loading...
Ambisi Presiden Joko Widodo menyelesaikan pembangunan mega proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) di tahun 2019 atau jelang Pilpres dipastikan gagal. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, proyek itu akan dievaluasi sebab perekonomian lesu dan jika pembangunannya diteruskan bisa membuat beban APBN bertambah.
Saat ini, sebanyak 20-25 persen paket proyek pembangkit listrik 35.000 MW belum dirundingkan hingga Oktober 2017, padahal proyek itu ditargetkan rampung hingga 2019. Artinya, sekitar 8.000 MW yang belum masuk tahapan perundingan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah sebenarnya bisa saja merampungkan perundingan tersebut sebelum masa Kabinet Kerja berakhir pada 2019. Namun, pemerintah menilai perlu lebih dulu mengevaluasi percepatan pembangunan pembangkit listrik tersebut. Pasalnya, kata Darmin, ekonomi yang kurang bergairah turut menyebabkan kebutuhan listrik masyarakat tak sebesar perkiraan awal, sehingga jika diteruskan menjadi beban baru APBN.
“Kami sendiri melihat sebetulnya permintaan listrik tidak setinggi yang diperkirakan, termasuk karena pertumbuhan ekonomi yang tidak setinggi asumsi ketika merancang dulu,” ucap Darmin di kantornya, Senin (16/10) yang dikutip cnnindonesia.
Berdasarkan data PLN, konsumsi listrik masyarakat pada kuartal II/2017, misalnya, tercatat tak sampai 5 persen. Begitu pula dengan konsumsi listrik yang tak terlalu tinggi, meski secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi masih meningkat tipis dibandingkan kuartal I 2017.
“Bahkan kuartal yang lalu, permintaan listrik itu pertumbuhannya negatif. Padahal, ekonomi positif,” imbuhnya.
Beban Baru
Jika pemerintah terus mempercepat pembangunan pembangkit listrik dengan permintaan yang lesu, hal itu akan justru akan menimbulkan beban baru. Kata Darmin, pemerintah nantinya perlu menyisihkan alokasi dana dari anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) khusus untuk pembangkit listrik, padahal tak terpakai.
Tak hanya itu, percepatan pembangunan yang tak seimbang dengan permintaan juga akan memberi beban keuangan PT PLN selaku kapten proyek tersebut.
“PLN akan memikul beban listrik kalau diteruskan dengan rencana 35 ribu MW. Mungkin 1-2 tahun justru listrik yang dihasilkan tidak dipakai,” tuturnya.
Di sisi lain, ada pula beban tambahan bila pemerintah turut mengandalkan swasta dalam proyek ini. Sebab, perjanjian dengan swasta menyebutkan pemerintah harus tetap membayar pasokan listrik yang disediakan swasta, meskipun tak digunakan.
“Misalnya, hasilnya sudah keluar, terus tidak dipakai, itu tetap harus dibayar. Mungkin sekitar 80-85 persennya,” jelas mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu.
Sebelumnya, Ekonom Faisal Basri mengingatkan, program setrum 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah dinilai ambisius dan terlampau berat untuk PLN, sehingga BUMN itu menghadapi potensi gagal bayar utang.
“Coba Anda bayangkan 35 ribu MW itu butuh transmisi 75 ribu km, seluruh BUMN disuruh berhenti kerja, bikin ini ya tidak bisa. Jadi dari awal saja sudah tidak masuk akal,” kata Faisal, Rabu (27/9).
Mega proyek itu membuat kondisi keuangan PLN tidak sehat dan beban APBN makin berat. Sehingga, banyak pihak yang menyarankan pembangunan proyek 35.000 MW PLN dievaluasi kembali agar APBN tidak jebol.
loading...
loading...