Anies-Sandi, Reklamasi, dan Bandul yang Berbalik
Loading...
Reklamasi Teluk Jakarta dan Anies-Sandi adalah dua sisi mata uang. Konteksnya adalah subjek dan objek kebijakan, setidaknya terhitung pascapelantikan keduanya sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI terpilih, Senin (16/10) esok.
Tetapi hubungan pasangan pemenang Pilkada DKI Jakarta 2017 itu dengan reklamasi sejatinya lebih dari sekadar administratif belaka. Janji menolak dan menghentikan reklamasi semasa kampanye menjadi titik singgung awalnya.
Janji kampanye adalah sikap politik yang ditawarkan pasangan calon ke pemilih (warga DKI). Dan, pemilihan langsung adalah wujud kedaulatan rakyat itu sendiri. Artinya, warga Ibu Kota yang menggenggam daulat tentu berhak menagihnya setelah pasangan Anies-Sandi resmi menjabat sebagai pemimpin DKI.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa sikap menolak reklamasi menjadi daya tarik luar biasa bagi pasangan yang diusung PKS dan Partai Gerindra tersebut. Janji politik ini terus dilontarkan dan selalu didengungkan Anies-Sandi sejak kampanye putaran pertama bergulir hingga debat kandidat terakhir. Penolakan terhadap reklamasi menjadi titik balik dalam kaitan dengan elektabilitas pasangan ini.
Terbukti, berbagai hasil survei menunjukkan adanya delta atau perubahan tingkat keterpilihan yang cukup signifikan. Posisi yang semula berada di dasar dari tiga pasangan calon yang ada, Anies-Sandi perlahan tapi pasti terus menanjak.
Saya merasa beruntung ditugaskan Republika menjadi bagian dari sejarah ini. Sebagai reporter desk nasional saat itu, saya ditempatkan untuk mengikuti pergerakan dari pasangan Anies-Sandi.
Ketika pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno di-launching Prabowo Subianto di Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat 23 September 2016, praktis sejak itu hampir setiap hari saya mengikuti pasangan ini. Sampai akhirnya dinyatakan menang oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta.
Saya masih ingat betul ketika Sandiaga Uno menyatakan sikap penolakannya terhadap reklamasi. "Hanya kami calon yang tegas menolak reklamasi." Pernyataan itu dilontarkan Sandiaga hari Selasa, 6 Desember 2016. Saya meyakini, pernyataan ini keluar dengan perhitungan yang sangat matang.
Sikap penolakan reklamasi adalah antitesis dari pasangan pejawat Ahok-Djarot. Mulanya, polemik reklamasi terjadi sejak anggota DPRD DKI bernama Sanusi ditangkap tangan KPK. Dia diduga menerima suap dari pengembang pulau buatan itu dalam pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi. Saat ditangkap, dia adalah ketua fraksi Gerindra di DPRD DKI.
Bak bola salju, kasus ini terus menggelinding dan gumpalannya kian membesar. KPK mengembangkan kasus ini hingga menyeret nama Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, perusahaan pengembang Pulau G.
Menariknya, seorang bernama Sunny Tanuwidjaja turut diperiksa dan masuk dalam daftar pencegahan ke luar negeri oleh KPK.
Belakangan, dalam sidang di pengadilan tipikor, sadapan percakapan antara Sunny dan Sanusi dibuka. Terungkap pembicaraan mereka tentang reklamasi, meski kemudian Sunny berkilah tak mengerti maksud Sanusi dalam percakapan tersebut. Sunny pun lolos dari jerat hukum.
Tapi Sunny adalah titik masuk bagi publik untuk menilai siapa Ahok. Mantan Bupati Belitung Timur itu awalnya mengakui Sunny adalah anak magang di kantornya. Sehari kemudian, Ahok menyebutnya sebagai teman.
Tapi fakta hasil penyidikan di KPK berbicara lain, Sunny disebut lembaga antikorupsi itu sebagai staf khusus Ahok. Akhirnya, Ahok secara diplomatis menyatakan tak ambil pusing jika ada yang menyebut Sunny adalah staf khususnya.
Inkonsistensi Ahok menjadikan orang susah percaya dengan kebijakan-kebijakan terkait reklamasi yang diklaimnya untuk kepentingan rakyat dan Jakarta sebagai kota. Ahok ngotot bahwa pemberian izin pelaksanaan reklamasi untuk beberapa pulau di Teluk Jakarta sudah benar. Sikap melanjutkan reklamasi ini kemudian dibawa Ahok-Djarot dalam kampanye.
Anies-Sandi lantas membuat diferensiasi dengan pejawat. Pengambilan sikap diametral dengan Ahok-Djarot terkait reklamasi menjadi pelontar yang cukup efektif menaikkan elektabilitas pasangan ini. Terlebih, di bulan Desember ada aksi massa sebagai bentuk perlawanan terhadap Ahok. Pengambilan sikap menolak reklamasi tentu sangat menguntungkan dalam aspek elektoral.
Tetapi, apakah hanya reklamasi? Tentu tidak. Janji kampanye Anies-Sandi memang bukan hanya menghentikan reklamasi. Ada 23 janji kampanyenya, dan itu tertulis di banyak media.
Penggusuran misalnya. Selama saya mengikuti kampanye Anies maupun Sandi, mereka selalu menyentuhnya dari sisi kemanusiaan. Anies kerap menyerukan bahwa yang perlu digusur adalah kemiskinan, bukan orang miskin. Jika memang perlu dipindah, harus dilakukan secara manusiawi serta mengedepankan dialog dengan masyarakat. Dia selalu menggunakan diksi penataan untuk isu tersebut.
Ini tentu menghantam keras pasangan pejawat. Ahok yang dikesankan tukang gusur, bengis dan keras terhadap wong cilik, 'dimatikan' dengan strategi ini. Ahok yang selalu bicara aturan legal formal ketika bicara penggusuran, di-counter dengan strategi pendekatan humanis.
Kembali ke reklamasi, isu ini kembali memanas ketika Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mencabut moratorium pulau reklamasi yang ditandatangani menko Kemaritiman sebelumnya, Rizal Ramli. Luhut menandatangani pencabutan itu pada Kamis (5/10), atau tepat 10 hari sebelum pelantikan Anies-Sandi. Tak pelak, semua wartawan memburu Anies maupun Sandi untuk memintai tanggapan.
Alih-alih mendapat tanggapan, Anies hanya tersenyum santai saat dimintai tanggapannya terkait hal itu di gedung DPRD DKI, Selasa (10/10). Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu hanya menjanjikan jawaban atas janji menghentikan reklamasi setelah pelantikan. Artinya, paling cepat Senin (16/10) sore publik mendapat jawabnya.
Tetapi, isyarat tetap akan menolak reklamasi cukup kuat. "Loh kok ditanya, Anda lihat program kita, ada yang berubah nggak di program?," kata dia, Selasa (10/10). Jawaban berupa pertanyaan itu terlontar saat saya bertanya menegaskan janji dan komitmennya ketika kampanye untuk menolak dan menghentikan reklamasi.
"Tapi kalau tetap menolak, Bapak akan berhadapan dengan pemerintah pusat, khususnya Menko Luhut," tanya saya. Anies hanya tersenyum dan sembari senyum menyebut saya 'kompor'.
Terakhir, isyarat itu diberikan Anies melalui instagram pribadinya. Dia mengunggah fotonya berlatar lautan, Sabtu (14/10). Dia menulis, "Abhental ombek asapo' angin, pepatah Madura mengingatkan. Berbantal ombak berselimut angin, demikianlah takdirnya bangsa kepulauan. Maka lautan, teluk dan pesisir jangan dipunggungi. Setuju ya teman-teman?"
Pertanyaan selanjutnya adalah, celah hukum apa yang akan dipakai Anies-Sandi untuk merealisasikan janjinya menghentikan reklamasi meski Luhut memberi lampu hijau kelanjutan reklamasi? Banyak analisis terkait ini, salah satunya adalah menarik pengajuan pembahasan raperda terkait reklamasi yang diajukan Djarot di akhir-akhir masa jabatannya, atau pascamoratorium dicabut Luhut. Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi dan Sekretaris Daerah DKI Saefullah menyebut cara itu bisa dilakukan Anies-Sandi.
Terlepas dari itu semua, saya teringat jawaban Anies yang menurut saya sangat fundamental bagi seorang pemimpin. Jawaban itu disampaikan saat ia menyapa warga Rusun Rawa Bebek, Jakarta Timur, Selasa (21/2). Ketika itu saya bertanya tentang program rumah dengan DP 0 rupiah yang ketika itu dikritik banyak pihak, termasuk Ahok dan Djarot, karena dianggap tidak realistis dan menyalahi beberapa aturan.
"Kenapa kalau reklamasi, aturan diterabas? Kenapa kalau menggusur, aturan diterabas? Kalau untuk kepentingan rakyat punya rumah kok mendadak aturan dinomorsatukan ya?," katanya. Dia menambahkan, "Kenapa bukan aturan yang disesuaikan agar rakyat punya rumah? Kenapa ketika kalau rakyat punya rumah justru pegangannya aturan?"
Anies mengatakan, aturan selalu ada ruang. Apalagi, kata dia, program rumah tanpa DP ini menyasar kepada masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum memiliki rumah sendiri. "Kalau saya, saya akan bela agar rakyat punya rumah. Saya akan hadapi tuh aturan-aturan itu supaya rakyat punya rumah," kata dia.
Di sini, aspek keberpihakan sedang dijadikan pijakan Anies. Jika program DP 0 rupiah dilandasi atas alasan seperti yang disebutnya di atas, bukankah alasan yang sama bisa digunakan dalam reklamasi Teluk Jakarta untuk membela nelayan, mencegah kerusakan lingkungan dan sederet alasan lainnya?
Janji iku minongko utang, dadi kudu disaur. Janji itu ibarat utang, jadi harus dibayar. Begitulah Bapak saya yang seorang petani di kampung sering berpesan dari semenjak saya kecil.
Terakhir, saya ingin mengucapkan selamat mengemban amanah, Mas Anies dan Mas Sandi...
Oleh: Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika khusus Isu-Isu Nasional dan Kota, Peliput Kampanye Anies-Sandi
loading...
loading...