Wartawan Senior: Kata “Allahu Akbar” Bagaikan Kata Kunci di Polri untuk Urusan Terorisme
Loading...
Wartawan Senior: Kata “Allahu Akbar” Bagaikan Kata Kunci di Polri untuk Urusan Terorisme
Opini Bangsa - Mereka Meneriakkan Takbir, Berarti Mereka Teroris
Kesimpulan awal itu sangat gegabah, sangat ceroboh. Pembawa acara berita TVOne bertanya kepada Kapolres Dahrmasraya, Sumatera Barat, AKBP Roedy Yoelianto, tentang apa indikasi bahwa pelaku pembakaran Mapolres beliau adalah teroris. Kapolres, dalam wawancara “live” (siaran langsung) mengatakan bahwa, ketika polisi melumpuhkan mereka, kedua pelaku yang ditembak mati itu meneriakkan “takbir” (Allahu Akbar).
Kapolres mengatakan, “Pelaku menyatakan bahwa ‘saya yang membakar’; kemudian mengatakan bertanggung jawab terhadap pembakaran; mengatakan ‘thoghut’. Kemudian setelah kami lumpuhkan, di badan tersangka kami temukan selembar surat…”
Note: Surat yang dimaksudkan Kapolres adalah tulisan yang berisi kalimat-kalimat jihad di atas selembar kertas yang, menurut berbagai berita, didapat di dalam kantong pakaian pelaku.
Pembakaran Mapolres Dharmasraya terjadi pada 12 November 2017, dinihari.
Kesimpulan AKBP Roedy Yoelianto bahwa kedua pelaku adalah teroris berdasarkan teriakan “takbir” dan ucapan “thoghut”, sangatlah simplistis. Memojokkan umat Islam. Terasa sangat “prejudice” (sangka buruk).
Luar biasa sekali dalam waktu sekian jam Kapolres bisa menduga kuat bahwa mereka adalah teroris atau bagian dari jaringan teroris.
Kesimpulkan ceroboh ini bagaikan dianulir oleh Wakapolri Komjen Syafruddin. Dalam penjelasan kepada para wartawan di Jakarta, Senin (13 Nov 2017), Syafruddin memperingatkan agar tidak membuat kesimpulan sebelum bisa dipastikan betul para pelaku adalah teroris.
Seperti dikutip koran Republika Online, Wakapolri mengatakan, "Jangan dulu disimpulkan bisa saja kelompok biasa tapi indikasi ke situ (jaringan teroris) ada."
Kalau meneriakkan “takbir” dijadikan sebagai indikasi teroris, maka akan banyak sekali kecelakaan bus atau kendaraan lainnya yang bisa digolongkan sebagai peristiwa terorisme. Sebab, bisa saja para penumpang yang beragama Islam di dalam bus yang bertabrakan atau kecelakaan lain, misalnya, mengucapkan “takbir” (Allahu akbar) secara spontan.
Kalau ada penumpang yang selamat dan sempat mendengar teriakan “Allahu akbar” itu, maka mulai sekarang mereka bisa melaporkan ke polisi bahwa kecelakaan bus kemungkinan bisa disebut sebagai peristiwa terorisme. Atau, paling tidak, bus itu sedang membawa teroris.
Ucapan “takbir” adalah bagian penting dalam pelaksanaan ibadah, khususnya sholat, bagi kaum muslimin. Banyak masjid di seluruh Indonesia yang, terkadang, memakai pengeras suara ketika melaksanakan sholat. Sewaktu imam memulai sholat, dia akan mengucapkan “takbir” sampai kedengaran ke luar.
Semoga saja para imam dan jemaah tidak berhenti memperdengarkan takbir di masjid-masjid lantaran kesimpulan ceroboh AKBP Roedy Yoelianto.
Menjadikan “takbir” sebagai indikasi teroris atau terorisme, tidak hanya menyesatkan opini tetapi bisa “membelah” perasaan umat Islam. Saya berharap, kecerobohan Kapolres Roedy Yoelianto tidak merefleksikan “doktrin umum” di tubuh Polri. Namun, sebagai seorang perwira menengah yang mungkin telah menempuh jenjang pendidikan yang memadai, kita menjadi prihatin sekali melihat “spontanitas” kesimpulan beliau.
Terasa sekali bahwa kata “Allahu Akbar” bagaikan kata kunci (key word) di Polri untuk urusan terorisme.
Meskipun hasil penyelidikan dan penyidikan Polisi menyimpulkan bahwa pelaku pembakaran Mapolres adalah teroris atau terkait dengan jaringan teroris, tetap saja menjadikan “takbir” sebagai indikasi standar untuk memastikan seorang pelaku itu teroris atau bukan, sangat mencemaskan.
Bagaimana kalau di satu peristiwa kekerasan yang diyakini sebagai tindak terorisme tetapi pelakunya tidak meneriakkan takbir, atau pelakunya bukan seorang muslim? Apakah kemudian polisi tidak menempuh penyelidikan terorisme?
Kita ingin bertanya lagi kepada Polisi, apakah mereka selama ini mendfinisikan bahwa “teroris” pasti orang Islam? Apakah “takbir” dijadikan sebagai kata yang “default” (otomatis) untuk menandai terorisme?
Oleh Asyari Usman
(Penulis adalah wartawan senior)
loading...
loading...