Politikus Golkar: Kalau Setnov Diganti, 'Ikannya' Harus Bagus, biar 'Airnya' Tenang
Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto (Setnov) ditetapkan sebagai tersangka perkasa kasus korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus hukum ini yang kemudian memunculkan kekhawatiran bagi para politisi senior Golkar.
Salah satunya dari Ginandjar Kartasasmita. Ia menyimpan perhatian khusus dari kasus hukum yang menyeret Setnov. Dia mengaku, para senior masih peduli atas kondisi partai terkini.
"Bagaimana tidak concern kalau Ketua Umumnya ada masalah, kita terus enggak peduli? Kita tetap peduli," kata dia ditemui kepada wartawan di Jakarta, Jumat (17/11/2017).
Hanya ia percaya, kasus hukum yang menyeret Setnov bisa diatasi oleh para kader Golkar aktif.
"Tapi saya yakin adik-adik kita, tokoh Golkar, melanjutkan perjuangan kami di masa lalu. Mereka pasti bisa mengatasinya dengan baik," imbuhnya.
Loading...
Belakangan muncul desas-desus pergantian -Ketua Umum Golkar, Setya Novanto, pasca dirinya terjerat hukum. Hal itu sebagaimana yang diinginkan politisi senior Golkar, Akbar Tanjung.
Hanya saja Ginandjar enggan berspekulasi soal pergantian Setnov. Dia menyerahkan hal itu kepada para kader Golkar aktif di kepengurusan.
"Saya serahkan kepada adik-adik saya yang memimpin, apa yang terbaik. Kalau saya, selesai dengan baiklah, kalau pergantian pun, pergantian prosedur harus benar mekanisme harus benar dan baik, jadi dapat ikannya airnya jadi tenang," pungkasnya.
KPK resmi menetapkan kembali Ketua DPR, Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan proyek e-KTP. Penetapan tersangka itu sebagaimana terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada tanggal 31 Oktober 2017 lalu atas nama Setya Novanto.
Setya Novanto selaku anggota DPR periode 2009-2014 bersama-sama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Dirjen Dukcapil dan Sugiharto sebagai pejabat di lingkup Kementerian Dalam Negeri, diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi, menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang ada padanya saat itu.
Sehingga diduga merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 2,3 triliun dengan nilai paket pengadaan Rp 5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik 2011-2012 pada Kemendagri.
loading...
loading...