Mengapa Gatot Nurmantyo, Prabowo dan Jokowi Penting untuk Indonesia?
Loading...
Presiden Indonesia yang akan terpilih dalam pilpres 2019 adalah satu dari tiga nama itu. Jika bukan Jokowi, ia Prabowo atau ia Gatot Nurmantyo. Banyak wartawan, pejabat, pengusaha, tokoh partai, aktivis yang acapkali bertanya pada saya. Siapakah yang paling potensial terpilih dalam Pilpres 2019? Dibalik pertanyaan itu tentu saja bukan hanya hasrat ingin tahu, tapi terselip pula rencana dan kepentingan.
Dua hal yang membuat mereka bertanya, ketika saya tanya balik mengapa bertanya pada saya. Pertama, Pilpres langsung di Indonesia baru terjadi tiga kali: 2004, 2009, dan 2014. Saya satu satunya konsultan politik di Indonesia yang hadir di ketiga Pilpres itu dan ikut memenangkan capresnya (SBY, SBY, Jokowi).
Kedua, saya juga satu satunya pembuat survei, yang setahun sebelum pilkada DKI 2017, ketika dukungan pada Ahok di angka sekitar 60 persen, saya justru membuat pernyataan publik yang berbeda, namun kemudian terbukti: Ahok kuat dan bisa dikalahkan. Saat itu aneka lembaga survei lain menduga Ahok akan menang satu putaran. Ahok ternyata memang kalah!
Saya selalu menolak menjawab pertanyaan soal Pilpres 2019 karena kata anak gaul: “Belanda masih Jauh.” Namun semakin mendekati Pilpres 2019, pertanyaan itu semakin sering. Baiklah, saja jawab saja secara tertulis untuk semua.
Presiden Indonesia berikutnya di tahun 2019 adalah Jokowi atau Prabowo atau Gatot Nurmantyo! Mengapa hanya tiga nama itu? Jawabnya: data, data dan data. Rangkuman data memunculkan hanya tiga nama itu. Detail soal data sebaiknya ditampilkan dalam serial konf pers yang akan dilakukan LSI menjelang pilpres 2019.
Dalam esai ini, saya hanya menekankan apa kekuatan dan kelemahan tiga tokoh itu dari sisi elektabilitas dan public interest di Indonesia. Saya mulai dulu dari tokoh yang paling anyar: Gatot Nurmantyo. Indonesia akan diambang bahaya jika terbelah menjadi kekuatan pro Pancasila vesus pro Islam. Dua sentimen itu sama kuatnya. Jika dua sentimen itu berhadapan, pecahlah Indonesia.
Gatot adalah tokoh yang merepresentasikan keduanya. Sentimen Pancasilanya tak diragukan. Ia panglima TNI yang tumbuh dengan doktrin NKRI, Pancasila dan UUD 45. Namun ini fenomena yang jarang. Panglima TNI tak hanya dihormati oleh hijau tentara, tapi juga hijaunya Islam. Bahkan untuk segmen pemilih Muslim yang konservatif sudah terbentuk persepsi: panglima TNI juga panglima di hati kaum muslimin. Sangat jarang tokoh yang memperoleh nilai tinggi untuk dua sentimen itu: Pancasila dan Islam.
Kelemahan Gatot, ia bukan atau belum menjadi ketua umum partai politik. Tanpa mengontrol satu partai politik besar, sulit baginya untuk mengendalikan Indonesia. Bahkan sulit pula untuk secara resmi berhasil menjadi capres 2019 jika tak ada upaya sangat ekstra.
Kekuatan Prabowo adalah kesan strong leadership yang menumbuhkan ekonomi dan pengusaha nasional. Sentimen pro Pancasila dan pro Islam juga nyaman padanya. Pada level intelektual, ia capres yang paling fasih bicara soal ideologi, discource wacana. Ia satu satunya capres di antara 3 capres di atas yang mengendalikan penuh satu partai besar, yang kini dari hasil survei sudah menjadi partai terbesar nomor dua: Gerindra.
Komitmennya pada ekonomi dan pengusaha nasional sudah menjadi berita luas. Ia juga hanya kalah sedikit saja dibanding Jokowi dalam pilpres 2014. Kelemahan Prabowo mungkin dari sisi peristiwa masa silam yang tak sepenuhnya terang benderang. Komunitas “Prabowo Haters” juga masih bertahan di sana yang sudah terbentuk sejak pilpres 2014, bahkan pilpres 2009. Logistik Prabowo juga mungkin masih menjadi kendala.
Kekuatan Jokowi terletak pada persepsi tentang personalitinya. Publik meyakini ia tokoh yang relatif bersih, punya perhatian lebih pada kepentingan publik. Iapun masih menjabat presiden dan mengontrol pemerintahan. Kelemahannya adalah persepsi. Politik itu masalah persepsi. Data survei menunjukkan elektabilitas Jokowi dalam pertanyaan 10 capres, selalu di bawah 50 persen. Itu adalah lampu kuning.
Jika seorang incumbent punya elektabilitas kurang dari 50 persen ada yang salah. Itu bisa ditafsir lebih dari separuh pemilih sedang menimbang tokoh baru. Ahok saja yang elektabilitasnya 60 persen bisa dikalahkan. Apalagi incumbent yang dukungannya sudah di bawah 50 persen.
SBY H-1,5 tahun sebelum 2009, elektabilitasnya di atas 55 persen, bahkan di atas 60 persen. Itu sebabnya mengapa saya berani berbulan sebelum pilres 2009 saya umumkan ke publik: SBY akan menang satu putaran saja. Saya dikecam. Tapi apa yang saya prediksi kemudian terbukti. Apa mau dikata?
Kelemahan Jokowi justru pada citra “strong leadership.” Ia bukan ketua umum partai. Mudah saja partai tak mematuhinya. Di publik, ia menyatakan mendukung KPK. Namun partai yang mendukung Jokowi, juga enteng saja justru berbeda dengan Jokowi dan mulai mempersoalkan KPK.
Tiga sentimen dan persepsi sudah terbentuk yang tak menguntungkan Jokowi. Sentimen Islam konservatif yang dulu berperan besar mengalahkan Ahok juga tak nyaman dengan Jokowi. Isu PKI yang entah dari mana asal usulnya juga tak positif bagi Jokowi. Kondisi ekonomi yang menambah jumlah orang miskin juga bukan berita bagus untuk incumbent.
Secara kualitatif, bagaimana jika kita membuat rangking di antara tiga capres itu?
Untuk representasi citra “strong leadership” yang menumbuhkan ekonomi, Prabowo nomor satu, Gatot nomor dua, Jokowi nomor tiga. Untuk representasi “mendamaikan sentimen Pancasila dan Islam,”: Gatot nomor satu, Prabowo nomor dua, Jokowi nomor tiga.
Untuk komitmen pemerintahan yang bersih dan pemimpin yang ikhlas: Jokowi nomor satu, Gatot dan Prabowo ada pada score yang sama di bawah Jokowi. Akan bertahankah data itu: Presiden Indonesia di 2019 hanya satu dari tiga nama di atas: Jokowi atau Prabowo atau Gatot? Masa depan tak pernah sepi dari kejutan. Banyak hal bisa terjadi yang terbayangkan di masa kini.
loading...
loading...