Kabinet Kerja Dihuni Menteri Bingung Dan Membingungkan
Loading...
Sulitnya ekonomi pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) tidak terlepas dari pengaruh ekternal. Hal ini dapat dipahami oleh Pengamat Ekonomi Politik, Gede Sandra bahwa ketika suksesi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berbarengan dengan jatuhnya harga komoditas di pasar global yang selama ini menjadi tumpuan bagi ekonomi nasional.
Pada masa SBY, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan positif hingga 6,5 persen, namun ketika beralih tampuk kekuasaan kepada Jokowi, laju ekonomi nasional mengalami perlambatan, bahkan sering berada di bawah 5 persen.
“Terlihat bahwa konsumsi masyarakat pada era Pemerintahan Jokowi telah jatuh pada kisaran 4,95 persen di semester pertama 2017. Sementara pertumbuhan ekonomi juga tidak pernah mencapai setidaknya 5,5 persen, sangat jauh (diskon 40 persen) di bawah target pertumbuhan ekonomi 7 persen seperti dicanangkan Jokowi pada awal pemerintahan tiga tahun yang lalu,” ujar dia secara tertulis, Selasa (10/10).
Nanun dengan kondisi global yang tidak menentukan ini, bukan berarti sebagai pembenaran untuk menyalahkan keadaan. Menurut Gede Sandra, ketidak mampuan keluar dari tekanan ini karena Presiden Jokowi tidak dibantu oleh tim ekonomi yang handal.
“Pemerintahan Jokowi mewarisi era yang sulit, yang sayangnya tidak dibantu tim ekonomi yang kompeten. Sehingga tim tersebut bisanya hanya kebingungan,” ujar dia.
Adapun 16 paket kebijakan ekonomi yang diharapkan memacu progresifitas ekonomi, namun nyatanya masyarakat tetap enggan menarik simpanannya di bank dan konsumsi tumbuh negatif.
“Sebenarnya sederhana menjelaskan situasi yang berkembang. Tabungan yang naik adalah kelas nasabah yang memiliki simpanan di atas Rp 5 miliar. Artinya ini kelas menengah atas khawatir pajak atas kekayaan mereka dikejar lagi oleh pemerintah. Akibatnya angka penjualan durable goods seperti mobil dan sepeda motor anjlok. Dua item yang sering jadi tolok ukur dari konsumsi masyarakat. Sementara PPN memang naik karena pabrikan wajibkan distributor untuk tetap membeli (stockings) demi kejar target. Tetapi justru dari distributor ke retailers mandek karena penjualan lesu,” jelas dia.
Dalam situasi seperti ini terkesan jelas bahwa Menteri Keuangan, Sri Mulyani terlihat bingung dan belum mampu membawa ekonomi nasional keluar dari tekanan.
Kemudian, jika Sri Mulyani dikatakan sebagai menteri yang bingung oleh Gede Sandra, tetapi Menteri BUMN, Rini Soemarno dikatakan Menteri yang membingungkan.
“Menteri BUMN membingungkan kita. Bagaimana tidak, hanya terjadi di Indonesia ada menteri yang tetap bertahan walaupun sudah hampir dua tahun ditolak rapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia ditolak DPR karena dipandang terlibat dalam skandal perpanjangan kontrak JICT yang telah diaudit BPK dengan kesimpulan merugikan negara. Sementara kinerja beliau jelas biasa saja,” ungkapnya.
Adapun kebijakan Rini pada Tahun 2015 dan 2016 ia telah menyuntik 45 BUMN dengan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) berturut-turut Rp 39,9 triliun dan Rp 44,5 triliun. Namun anehnya terdapat 24 BUMN yang merugi hingga Rp5,8 triliun di tahun 2017.
“Semakin membingungkan, mengapa sosok ini dipertahankan di kabinet. Pekan lalu politisi budayawan Eros Djarot menulis judulnya (Membaca Sri dan Rini, lewat Jokowi). Disimpulkannya, alasan Menteri BUMN tetap dipertahankan , karena terlanjur menjadi lady who knew too much. Atau istilah gaulnya: pegang kartu. Mungkin dapat menjadi alasan kebingungan kita,” sesal dia.
loading...
loading...